Katekisasi adalah salah satu wadah, di mana
gereja mempersiapkan jemaat untuk memiliki pemahaman yang benar tentang
kebenaran Alkitab. Klauber mengutip John Leight sejarahwan reformasi
menuliskan: Katekisasi tidak hanya semata-mata mempersiapkan orang muda untuk
pembaptisan, tapi kepada semua orang percaya, untuk mengajar mereka dasar-dasar
iman Kristen. Di dalam ketekisasi ini, jemaat diperlengkapi dengan doktrin-doktrin
dasar di dalam kekristenan yang dipercayai dan diimani oleh gereja tersebut.
Selain itu katekisasi merupakan wadah untuk mencari generasi-generasi baru yang
dapat diarahkan dan dipersiapkan untuk melayani Tuhan di dalam pelayanan
gerejawi.
Pentingnya
pengajaran ketekisasi oleh gereja kepada jemaat lebih disebabkan karena:
pertama, gereja harus melaksanakan Amanat agung Yesus Kristus untuk menjadikan
bangsa-bangsa murid-Nya (Matius 28:19) proses pengajaran; kedua, bahwa gereja
harus mengajarkan kebenaran-Nya kepada jemaat, sama seperti Yesus Kristus yang
mengajarkan firman dan kebenaran-Nya (Yohanes. 8:31-32); ketiga, gereja harus
menuntun jemaat kepada iman dan pengenalan Allah yang benar dan Yesus Kristus (Yohanes
17:3, Roma 10:17).
MEMAHAMI SECARA SINGKAT KATEKISASI DI DALAM
GEREJA
Katekisasi merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gereja. Pelayanan ini menjadi penting
oleh karena mengajarkan kebenaran fundamental tentang iman Kristen. Abineno mengungkapkan
bahwa: katekese bukanlah hanya pelayanan sampingan saja dari gereja: sama
seperti pelayanan-pelayanan gerejawi yang lain, demikian pula katekese adalah
pelayanan pokok adalah fungsi dasariah dari gereja.
Di dalam
perkembangan sejarahnya, katekisasi mengalami perkembangan bersamaan dengan
gereja. Di mana gereja berdiri, pelayanan katekisasi juga dilakukan. Ada dugaan
dari beberapa pakar sejarah bahwa ketekisasi menjadi permulaan dari berdirinya
gereja. Hal ini menunjuk kepada peristiwa di dalam Kisah Para rasul 2:42 a:
“mereka bertekun dalam pengajaran para rasul.” Terlepas dari pernyataan ini
diterima atau tidak, namun satu hal yang pasti bahwa katekisasi dan gereja
tumbuh dan berkembang hampir bersamaan.
Di dalam
gereja mula-mula, pelayanan katekisasi ini telah dilakukan. Hal ini nampak
terlihat di dalam tulisan Klemens (sekitar 140 AD). Dalam suratnya kepada
jemaat di Korintus, Klemens menyebutkan bahwa katekese sebagai permintaan
jemaat.
Pengajaran ini bertujuan untuk mengajak orang
supaya mengenal Kristus dan menyucikan mereka dari segala berhala. Tertullianus
(sekitar 200 AD) menegaskan bahwa sebelum orang-orang mengalami baptisan,
mereka terlebih dahulu harus menerima pengajaran. Constitutiones Apostolocae
sudah menetapkan pendidikan selama tiga tahun untuk setiap orang yang ingin
dibaptis. Augustinus, seorang bapa gereja barat telah menerima pengajaran
sebelum baptisan selama dua tahun pada usia 31 tahun, sebelum ia diterima
menjadi anggota jemaat dan dibaptis tahun 387 AD.
Pelayanan katekisasi gerejawi semacam ini
terus bertahan selama 500 tahun pertama berdirinya gereja. Memasuki abad-abad
pertengahan, katekisasi mengalami kemerosotan tajam. Hal ini lebih dikarenakan
masuknya berbagai ajaran di dalam gereja yang menekankan ritualitas dari pada
pengajaran. Salah satu contohnya adalah ajaran sakramen pengampunan dosa, yang
secara serius ditekankan oleh gereja. Di sini yang ditekankan adalah ritualnya.
Sementara itu di dalam suatu konsili Forli yang dilakukan pada tahun 791,
menganggap kredo dan Doa Bapa kami sebagai formula pemberi berkat. Jika ada
orang yang mampu mengucapkannya, maka dianggap sudah cukup. Hal ini secara
tidak langsung menggeser kedudukan pengajaran di dalam gereja Tuhan. Pada masa
ini katekisasi hanya berlaku di dalam keluarga dan melalui khotbah-khotbah yang
terbatas. Pada masa ini bukan saja kemerosotan pengajaran yang terjadi, tetapi
jemaat-jemaat tidak mengerti apa yang mereka ucapkan di dalam ritual-ritual
gereja yang serba membingungkan.
Mengakhiri abad pertengahan, muncul gerakan-gerakan reformasi yang menurut Gereja Katolik-Roma, sebagai gerakan kemurtadan, yang memperjuangkan kembali pengajaran di dalam gereja. Mereka tidak mau tertipu oleh gereja yang hanya melaksanakan ritual semata-mata. Mereka berusaha untuk menyusun buku-buku yang dapat menjadi pedoman untuk pengajaran bagi jemaat. Katakan saja John Wycliffe dan John Huss. John Wycliffe hidup di Inggris sekitar tahun 1384 menulis bukunya Pauper Rusticus dalam bahasa Inggris. Isinya mengenai iman, titah, dan doa, dengan penjelasan panjang lebar tentang kehidupan yang berdasarkan iman dan pergumulan iman. Selanjutnya John Huss sekitar tahun 1415, menulis buku penjelasan mengenai Apostolik, Doa Bapa Kami dan Dasa Titah, agar para muridnya tahu bagaimana mengajarkan iman Kristiani kepada rakyat.
Mengakhiri abad pertengahan, muncul gerakan-gerakan reformasi yang menurut Gereja Katolik-Roma, sebagai gerakan kemurtadan, yang memperjuangkan kembali pengajaran di dalam gereja. Mereka tidak mau tertipu oleh gereja yang hanya melaksanakan ritual semata-mata. Mereka berusaha untuk menyusun buku-buku yang dapat menjadi pedoman untuk pengajaran bagi jemaat. Katakan saja John Wycliffe dan John Huss. John Wycliffe hidup di Inggris sekitar tahun 1384 menulis bukunya Pauper Rusticus dalam bahasa Inggris. Isinya mengenai iman, titah, dan doa, dengan penjelasan panjang lebar tentang kehidupan yang berdasarkan iman dan pergumulan iman. Selanjutnya John Huss sekitar tahun 1415, menulis buku penjelasan mengenai Apostolik, Doa Bapa Kami dan Dasa Titah, agar para muridnya tahu bagaimana mengajarkan iman Kristiani kepada rakyat.
Pembaruan yang
dilakukan pada masa reformasi telah membawa perubahan yang besar terhadap
perkembangan katekisasi. Katekisasi tidak hanya bersifat hafalan, seperti dasa
titah, doa dan sakramen sebagaimana yang dilakukan oleh gereja lama (zaman
Katolik Roma), melainkan juga ringkasan ajaran Kitab Suci yang sangat baik dan
berguna yang kemudian diajarkan kepada jemaat-jemaat Kristen. Masa Reformasi
telah melahirkan berbagai macam katekismus pengajaran yang berakar kuat kepada
firman Tuhan. Martin Luther pada tahun 1529 menuliskan Katekismus Besar dan
Katekismus Kecil sebagai panduan untuk pengajaran kepada para pengikutnya. Di
dalam buku ini, ia menguraikan prinsip-prinsip penting ajaran reformasi yang
berakar kuat kepada kebenaran Alkitab: Sola Scriptura, Sola Fide dan Sola
Gratia.Johanes Calvin, merupakan tokoh reformasi yang sangat disegani dan telah
mewariskan pengajaran yang dalam sekali tentang Alkitab. Oleh pengikutnya,
namanya menjadi rujukan dari seluruh ajarannya: Calvinis. Pada tahun 1536, ia
menuliskan suatu buku ”De Institutionae Christi” yang merupakan bahan pelajaran
yang digunakan di dalam katekisasi. Calvin kemudian mengarang sebuah
”Katekismus” pada tahun 1541 yang lazim dikenal sebagai ”Katekismus Geneva”.
Melanchthon juga menuliskan sebuah katekismus yang sesuai dengan apa yang
Martin Luther tuliskan.
Pada tahun berikutnya muncullah beberapa katekismus yang merupakan bahan
pengajaran bagi jemaat-jemaat, di antaranya: Katekismus Heidelberg dan
Katekismus Westminster. Katekismus Heidelberg ditulis oleh Kaspar Olevianus dan
Zakharias Ursinus pada tahun 1562. Katekismus ini sangat terkenal dan menjadi
bahan pelajaran yang disenangi dan diterima oleh jemaat-jemaat pada waktu itu.
Kedua katekismus merupakan kristalisasi dari pengajaran iman kristen di dalam
tradisi Calvinisme.
Memasuki masa
abad ke-18, pengajaran katekisasi mengalami kemorosotan tajam. Hal ini karena
ada pengaruh filsafat rasionalisme sekuler yang mulai merasuki gereja. Filsafat
ini mempertentangkan antara iman dari akal dan memisahkan antara iman dan akal.
Argumentasi-argumentasi yang dibangun dan dilontarkan kepada pihak gereja
justru melemahkan kaum rohaniawan yang ada. Pikiran yang skeptis terhadap
pengajaran Alkitab (cenderung menolak kebenaran) membawa dampak yang cukup
besar bagi kerohanian jemaat Kristen, di mana mereka mulai mengingkari akan
kebenaran sebagaimana yang diyakini semula.
MEMAHAMI PERGUMULAN DAN TANTANGAN KATEKISASI
MASA KINI
Di dalam era postmodern ini, umumnya masyarakat, termasuk juga jemaat kristen tidak lagi menyukai hal-hal yang bersifat pengajaran doktrinal/alkitabiah. Mereka lebih menyukai pengajaran-pengajaran praktis dan berbau supranatural. Situasi dan kondisi zaman ini telah merubah paradigma kekristenan (Kebenaran merupakan suatu pewahyuan dan diberikan kepada gereja) dengan paradigma baru yang bersifat relatif (kebenaran bergantung kepada setiap pribadi dan kelompok masyarakat). Katekisasi dalam gereja hanya merupakan pra-syarat untuk mendapatkan surat legal (surat baptisan atau sidi) untuk kepentingan pribadi dan bukan bertujuan untuk mempersiapkan dan membimbing generasi muda untuk melayani di dalam gereja.
Sebagai sebuah refleksi: Umumnya dalam setahun gereja-gereja Kristen membuka 2 kali kelas katekisasi.Berapa banyak jemaat yang setiap tahun ikut katekisasi (baik baptisan atau sidi) yang aktif bergereja? Berapa banyak jemaat setelah mengikuti kelas katekisasi, berkomitmen untuk mengikuti pembinaan-pembinaan yang diadakan di gereja? Berapa banyak jemaat setelah mengikuti kelas katekisasi berkomitmen untuk melayani Tuhan? Jikalau semuanya ini berjalan dengan baik, maka: pertama, gereja tidak akan mengalami ”krisis” untuk mencari generasi muda dalam melanjutkan estafet pelayanan gerejawi; kedua, kerohanian jemaat tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang menyimpang dari Alkitab. Namun faktanya tidaklah demikian.
Di dalam era postmodern ini, umumnya masyarakat, termasuk juga jemaat kristen tidak lagi menyukai hal-hal yang bersifat pengajaran doktrinal/alkitabiah. Mereka lebih menyukai pengajaran-pengajaran praktis dan berbau supranatural. Situasi dan kondisi zaman ini telah merubah paradigma kekristenan (Kebenaran merupakan suatu pewahyuan dan diberikan kepada gereja) dengan paradigma baru yang bersifat relatif (kebenaran bergantung kepada setiap pribadi dan kelompok masyarakat). Katekisasi dalam gereja hanya merupakan pra-syarat untuk mendapatkan surat legal (surat baptisan atau sidi) untuk kepentingan pribadi dan bukan bertujuan untuk mempersiapkan dan membimbing generasi muda untuk melayani di dalam gereja.
Sebagai sebuah refleksi: Umumnya dalam setahun gereja-gereja Kristen membuka 2 kali kelas katekisasi.Berapa banyak jemaat yang setiap tahun ikut katekisasi (baik baptisan atau sidi) yang aktif bergereja? Berapa banyak jemaat setelah mengikuti kelas katekisasi, berkomitmen untuk mengikuti pembinaan-pembinaan yang diadakan di gereja? Berapa banyak jemaat setelah mengikuti kelas katekisasi berkomitmen untuk melayani Tuhan? Jikalau semuanya ini berjalan dengan baik, maka: pertama, gereja tidak akan mengalami ”krisis” untuk mencari generasi muda dalam melanjutkan estafet pelayanan gerejawi; kedua, kerohanian jemaat tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang menyimpang dari Alkitab. Namun faktanya tidaklah demikian.
Pada masa kini
gereja mengalami ujian berat untuk dapat mempertahankan jemaat dengan
pengajaran yang murni dan alkitabiah ataukah membiarkan jemaat ”ikut arus”
dunia ini dengan segala pengajarannya yang menuju kepada pemuasan hati dan
pelampiasan emosi sesaat yang ditampilkan dengan berbagai model gaya hidup yang
pada akhirnya membuat mereka kehilangan iman dan pengharapannya. Para
rohaniawan ditantang untuk ikut berlomba menyelamatkan (membawa kembali)
jemaat-jemaat yang terhilang akibat pengaruh arus zaman ini. Mereka harus dibawa
kembali kepada Yesus Kristus sang pemilik jiwanya. Inilah tugas yang
dipercayakan oleh Dia, Yesus Kristus kepada para hamba-hamba-Nya.
Gereja harus
dapat mengajarkan kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen secara tepat dan benar
kepada jemaat. Gereja dapat menggunakan berbagai metode dan bahasa yang lebih
sederhana untuk mengajar jemaat dengan benar, tanpa merubah isi pengajaran
doktrinalnya. Tujuan akhir daripada pengajaran ini adalah memahami iman kristen
secara benar.
ALKITAB DAN TAHAP KANONISASI ALKITAB
Alkitab dalam bahasa Arab adalah
kutiba yang berarti ketetapan/hukum, aturan dalam menjalankan Agama.
Alkitab bagi orang Kristen adalah buku berisi tentang pernyataan iman seseorang
kepada Tuhan. Alkitab terdiri atas 39 kitab di Perjanjian Lama dan 27 kitab di
Perjanjian Baru. Isi dari Perjanjian Lama ialah tentang janji Allah/nubuat,
sedangkan Perjanjian Baru berisi tentang penggenapan janji. tahap kanonisasi
Alkitab yaitu Formasi, Sirkulasi, Koleksi, redaksi dan seleksi
Trinitas
Trinitas artinya kesatuan dari tiga,
yakni Allah Bapa, Yesus (Putra) dan Roh Kudus. Allah sebagai Bapa yang
memelihara. Putra sebagai teladan saat Ia menyerahkan diriNya dalam rupa
manusia dan merelakan nyawaNya di kayu salib. Roh Kudus sebagai pembimbing,
pendamping, penolong yang tidak terlihat, memampukan kita untuk berbuat dan
merespon tindakan Allah dalam hidup.
SAKRAMEN
Dalam Agama Kristen
Protestan, hanya ada dua sakramen yakni Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. a. Sakramen dalam bahasa latinnya sacramentum
artinya perbuatan kudus (sakral). Sakramen menunjukkan upacara/kebaktian khusus
yang di laksanakan gereja dalam pelayanan. b. sakramen Baptisan Kudus sakramen
sebagai tanda pengampunan dosa dan hidup yang baru. Alat yang di gunakan adalah
air sebagai lambang penyucian atas dosa. Ada dua cara baptisan, yakni baptisan
percik dan baptisam selam, namun keduanya menunjukkan pada 1 makna. Dibaptiskan
dalam nama: BAPA, artinya kita telah masuk ke dalam lingkungan kasih
serta anugerah Bapa kita. ANAK, Yesus telah membasuh kita dari dosa dan
hidup dalam perdamaian dengan Allah. ROH KUDUS, telah di anugerahkan
kepada kita (Matius 28:19-20; Roma 6:3-4) c. sakramen Perjamuan Kudus.
hanya boleh diterima oleh anggota jemaat yang sudah angkat sidi.
Makna perjamuan kudus : Diingatkan
akan kematian Yesus sebagai penebus dan penyelamat dunia, Kita mengalami
persekutuan dan persatuan di dalam tubuh Kristus dengan semua orang beriman, Mengalami
persekutuan dan merasakan kehadiran Tuhan Yesus yang telah bangkit dan hidup,
dan Kita di sadarkan, dikuatkan, dan diperbaharui oleh roh kudus. (Matius
26:26-28; 1 Korintus 11:23-25)
TRI PANGGILAN GEREJA
Gereja sebagai salah satu bagian dari dunia
memiliki tugas-tugas sebagai gereja yang hidup.
3
Tugas
gereja :
a. Marturia
(bersaksi) [Kisah Para rasul 2:41-47; 1 Pet 2:9-10; Roma
12:9-21; Matius 5:13-16; Amos 5:21-27; Yesaya 58:6-7)
b. Koinonia
(bersekutu) (Yohanes 17:1-26; Roma 12:9-21; Efesus 4:32;
Filipi 2:1-10; Galatia 5:13-15)
c. Diakonia
(melayani) (Matius 20:20-28; Yohanes 13:1-20, 1 Petrus
4:7-11; Matius 25:31-46; 2 Korintus 9:1-5) Gereja harus menyadari
keterlibatannya dalam masyarakat harus merupakan bentuk keprihatinannya pada
masyarakat yang di layaninya.
KATEKISASI DI DALAM ALKITAB
Alkitab, baik PL dan PB memberikan
latar belakang mengenai pengajaran katekisasi. Baik itu di dalam tradisi Yahudi
yang ketat sebagai-mana yang tercatat di dalam PL, maupun di dalam kekristenan
mula-mula yang berakar kuat di dalam PB. Hal ini perlu dilihat secara
komprehensif di dalam Alkitab, mengingat kekristenan hari ini sangat berakar
kuat di dalam kedua tradisi tersebut.
A. Dalam Perjanjian Lama (PL)
Katekisasi berakar kuat dalam sejarah
dan tradisi dari bangsa Israel. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa hal
berikut: 1. Orang tua berkewajiban mengajar anak-anaknya “tentang perbuatan-perbuatan
Allah yang besar.(Ulangan. 6:20-25; Mazmur 78:1-7). 2. Sekitar abad-abad
pertama telah ada sekolah bagi anak-anak Yahudi, mereka yang berumur 5-7 tahun
telah mendapat pengajaran dari guru-guru torah. Maksud dan tujuan pengajaran
itu adalah supaya anak-anak mendapat pengajaran tentang torah. 3. Pengetahuan
ini terdiri dari pembacaan dan pelafalan torah secara harafiah. Ada 2
tingkatkan yang dapat kita temukan dalam pengajaran ini. a) tingkat dasar yang
dikenal dengan nama beth-ha-sefer dan b) tingkat lanjutan yang dikenal dengan
beth-ha-midrasy. Pengajaran semacam ini terus berlangsung dalam abad-abad
pertama di kalangan umat Yahudi. 4. Bahan-bahan pengajaran yang dilakukan oleh
guru-guru Yahudi di dalam sinagoge-sinagoge dibagi di dalam beberapa bagian:
pertama, pengakuan iman (syema). Hal ini tercatat di dalam Ulangan 6:4-9,11,13-21
dan Bilangan 15:37-41, kedua, doa utama syemone Esre, ini dilakukan oleh tiap orang
Yahudi, tiga kali sehari. Doa ini adalah suatu puji-pujian kepada Allah;
ketiga, pembacaan torah; keempat, pengajaran tentang arti dari hari raya-hari
raya Yahudi.
B. Dalam
Perjanjian Baru (PB)
Jemaat purba (orang-orang Kristen
zaman purba) mengadopsi jenis pengajaran ini untuk menunjang pelayanan mereka.
Mereka menggunakan beberapa istilah untuk menunjukkan hal ini.
1. Katekhein adalah memberitakan, memberitahukan, mengajar dan memberi pengajaran (Lukas. 1:24; Kisah Para Rasul. 21:21, 2, Roma 2:17-18)
1. Katekhein adalah memberitakan, memberitahukan, mengajar dan memberi pengajaran (Lukas. 1:24; Kisah Para Rasul. 21:21, 2, Roma 2:17-18)
2. Didaskhein adalah menyampaikan pengetahuan dengan
maksud su-paya orang yang diajar itu bertindak terampil (Matius 4:23; 26:25, 1Timotius
4:11)
3. Ginoskein adalah mengenal atau belajar mengenal. Ini
bersifat intelek-tualistis (Roma 1:21-28; Galatia. 4:8-9)
4. Manthanein adalah belajar, maksudnya mengindikasikan
suatu proses rohani, di mana seseorang mencapai sesuatu bagi dirinya untuk
perkembangan kepribadiannya (Ibrani 5:7-8; Efesus 4:20-23)
5. Paideuein adalah memberi bimbingan kepada anak-anak,
supaya mereka dalam dunia orang dewasa dapat menempati tempat mereka (1Timotius
3:16-17; Titus 2:17,).
6. Katekisasi di dalam Alkitab PL dan PB memberikan
penjelasan secara garis besar, melalui tradisi Israel dan arti kata-kata yang
berhubungan dengan ketekisasi jemaat.
Ini menunjukkan bahwa memang tujuan
akhir katekese itu sendiri berhubungan dengan kerohanian jemaat itu sendiri dan
pelayanan gereja yang nantinya akan dilakukan oleh jemaat tersebut.
Pada umumnya, materi katekisasi dalam
tradisi gereja bersangkut paut dengan prinsip-prinsip ke Kristenan pada
umumnya, secara garis besar dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengakuan Iman Rasuli (Apostolicum)
Yang berisi dua belas pasal, bersifat
trinitaris: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Baik pula apabila kita perkenalkan
adanya Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius.
2. Sepuluh Hukum Tuhan (Dekalog)
Yang dapat dihadapmukakan dengan
kepercayaan lama dan praktek hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Bagian ini
menyangkut ajaran yang berkaitan dengan perilaku kehidupan anggota jemaat,
sehingga diharapkan, bahwa anggota jemaat terdidik untuk melakukan jalan hidup
yang benar, sesuai dengan kehendak Tuhan, baik di hadapan-Nya, maupun di
hadapan manusia.
3. Doa Bapa kami dan doa pada umumnya antara lain doa
pribadi, doa syafaat, dan lainnya
Sebagai aspek spiritual pergaulan
manusia dengan Tuhannya secara vertikal dalam praktik beriman Kristen. Hal ini
merupakan tantangan, mengingat kehidupan yang begitu mengagungkan prestasi dan
kemampuan manusia pada masa kini sering amat melecehkan peranan doa. Agaknya
diperlukan praktek latihan berdoa bagi para calon anggota jemaat, sehingga
mereka benar-benar dapat menghayati makna doa bagi kehidupan orang Kristen.
4. Kanonisasi Alkitab
Agar calon anggota mengerti proses
terjadinya Alkitab dan semua perkara yang berhubungan dengan itu. Dengan itu,
ia mampu memberikan penjelasan kepada orang lain. Hal ini penting. mengingat
pemahaman yang minim terhadap masalah kanonisasi Alkitab dan ketidakmampuan
anggota jemaat menjadikan Alkitab sebagai pegangan hidupnya akan merugikan
perkembangan iman serta kesaksian hidupnya di hadapan orang yang berkeyakinan
lain.
5. Sejarah gereja dan oikoumenika
Sehingga calon anggota memahami asal
mula gereja Tuhan, pertumbuhannya dan gerak langkahnya pada masa kini yaitu
dalam pergaulan antar gereja/denominasi. Sejarah gereja umum dan khususnya
gereja/jemaat yang bersangkutan perlu diketahui agar pengenalan itu menambah
kecintaan calon anggota terhadap gereja tempat ia kelak menjadi anggotanya.
6. Pengenalan terhadap Tata Gereja/Tata Laksana
Sebagai bekal untuk dapat membangun
persekutuan yang benar dalam lingkungan jemaat sendiri (lokal), maupun
lingkungan jemaat yang lebih luas (klasikal, sinodal, oikoumenis). Bagian ini
perlu dihayati secara memadai, agar anggota jemaat mengetahui cara-cara
berorganisasi secara gerejawi, kendati di dalam kasih Kristus sudah cukup untuk
mengatasi semua permasalahan hidup gereja sehari-hari.
7. Memahami tugas bersaksi dan melayani
Dalam semangat untuk mengasihi sesama
manusia dan taat kepada perintah Tuhan Yesus. Dengan demikian calon anggota
memahami kedudukan dwi kewarganegaraannya yakni sebagai warga Kerajaan Allah
dan warga dunia. Khusus dalam keberadaannya di Indonesia dengan masyarakat yang
majemuk (pluralistis), anggota jemaat perlu bijaksana membawa diri, sehingga di
satu sisi sadar akan jati dirinya selaku orang Kristen yang terbeban untuk
bersaksi dan melayani, dan di sisi lain ia bertemu dengan orang-orang yang
berkeyakinan lain dengan praktik hidup mereka sehari-hari.
Dengan mengemukakan ketujuh aspek dari
materi katekisasi ini, amat diharapkan, bahwa calon anggota akan dapat
menghadirkan dirinya di tengah keluarga, jemaat, lingkungan Kristen dan
masyarakat secara baik, sebagaimana yang diharapkan. Persoalannya, bagaimana
kita dapat mengkomunikasikannya dalam program yang padat, mengena dan cukup
waktu sesuai periode katekisasi yang ideal.
KESIMPULAN
Gereja yang sehat dan dinamis adalah gereja yang memperhatikan aspek pengajarannya. Hal ini tidak berarti membiarkan pelayanan yang lain (maksudnya adalah keseimbangan pelayanan-pelayanan yang lain dengan pelayanan pengajaran). Pengajaran Alkitab yang benar menjadi fondasi yang kuat bagi pelayanan gereja dan pertumbuhan kerohanian jemaat. Jemaat harus di dorong untuk mengikuti kelas-kelas katekisasi dan pembinaan-pembinaan lainnya. Jemaat yang terlibat pelayanan harus mengerti dasar-dasar kehidupan iman yang benar melalui pengajaran katekisasi atau kelas-kelas pembinaan, tujuannya agar (1) pelayanannya murni hanya kepada Tuhan (dengan kata lain tidak ikut-ikutan); (2) ia bertumbuh di dalam iman; (3) ia tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai pengajaran duniawi yang menyesatkan; (4) mampu memberi jawaban bagi mereka yang meminta pertanggungan jawab imannya sesuai dengan kebenaran di dalam Kristus.
Gereja yang sehat dan dinamis adalah gereja yang memperhatikan aspek pengajarannya. Hal ini tidak berarti membiarkan pelayanan yang lain (maksudnya adalah keseimbangan pelayanan-pelayanan yang lain dengan pelayanan pengajaran). Pengajaran Alkitab yang benar menjadi fondasi yang kuat bagi pelayanan gereja dan pertumbuhan kerohanian jemaat. Jemaat harus di dorong untuk mengikuti kelas-kelas katekisasi dan pembinaan-pembinaan lainnya. Jemaat yang terlibat pelayanan harus mengerti dasar-dasar kehidupan iman yang benar melalui pengajaran katekisasi atau kelas-kelas pembinaan, tujuannya agar (1) pelayanannya murni hanya kepada Tuhan (dengan kata lain tidak ikut-ikutan); (2) ia bertumbuh di dalam iman; (3) ia tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai pengajaran duniawi yang menyesatkan; (4) mampu memberi jawaban bagi mereka yang meminta pertanggungan jawab imannya sesuai dengan kebenaran di dalam Kristus.
by. Taripar Holong Tambunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar