Penyelenggaraan katekisasi dalam gereja dewasa ini sesungguhnya berpangkal dari persekutuan umat Tuhan dalam masa Perjanjian Lama. Keluarga adalah, unit terkecil dalam persekutuan umat Tuhan yang menjadi wadah di mana pendidikan iman ditumbuh-kembangkan. Setiap orang tua
mempunyai kewajiban untuk mengkomunikasikan iman mereka dari
nenek-moyangnya kepada para keturunannya dari satu generasi ke generasi
berikutnya tentang segala perbuatan TUHAN (Yahwe).
“Yang
telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami
oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak
mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian
puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan perbuatan ajaib
yang telah dilakukan-Nya. Telah ditetapkan-Nya peringatan di Yakub dan
hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya
untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka, supaya dikenal oleh
angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun
dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh
kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah,
tetapi memegang perintah-perintah-Nya. Mazmur 78 : 3 - 7.
Setiap umat Israel mengungkapkan iman mereka berdasarkan pengakuan percaya (credo)
mereka bahwa, “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN,
Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu” (Ulangan 6 : 4 - 6). Pengkomunikasian iman ini tidak hanya berdasarkan tradisi lisan
saja melainkan juga terwujud melalui kehidupan sehari-hari bangsa
Israel seperti, bekerja, mempersiapkan perayaan hari-hari raya (misalnya
hari raya utama adalah Sabat sebagai hari yang dikuduskan Allah).
Kemudian hari Pendamaian Agung, pesta Paskah, pesta panen Pentakosta, hari raya Pondok Daun, pesta Purim)
dan lain sebagainya. Tujuan utama dari usaha ini adalah, umat hanya
mengabdi kepada TUHAN saja (ayat 4), dan bagaimana wujud umat diminta
untuk hanya mengabdi pada TUHAN saja, maka perintah TUHAN jelas bahwa
umat diminta untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati (ayat 5), dengan segenap jiwa (ayat 5), dan dengan segenap kekuatan (ayat 5).
Beberapa metode yang dipakai dalam proses mengkomunikasikan hal di atas antara lain: memperhatikan, mengajar berulang-ulang, membicarakan, membuat tanda / simbol (mengikatkan / menuliskan).
Proses mengkomunikasikan iman ini dilakukan oleh keluarga baik di rumah
maupun di luar rumah; dengan kata lain setiap tempat dan waktu
digunakan untuk proses pengajaran.
Sejak dini anak-anak Yahudi sudah dibiasakan menaati peraturan agama yang dilakukan sesuai tahapan usianya. Pada usia sekitar 5 tahun anak-anak diberi pelajaran dasar membaca Taurat. Usia 10 tahun mulai diberi pengajaran, yaitu misyna (secara harafiah berarti bahan ulangan yang perlu dihafalkan). Pada usia 12 – 13 tahun anak-anak wajib menaati sepenuhnya peraturan hukum Yahudi yaitu, mitswoth. Pada tahap ini anak laki-laki telah dianggap sebagai “anak-anak hukum Taurat” yaitu, bar-mitswa segera setelah berusia 13 tahun tambah satu hari.
Perkembangan kemudian yaitu, sesudah masa pembuangan, pendidikan iman bergeser dari wadah keluarga ke Sinagoge (rumah sembahyang orang Yahudi
yang ada hampir di setiap perkampungan). Sinagoge adalah wadah
berkumpul sekaligus lembaga tempat orang Yahudi membicarakan berbagai
hal menyangkut kehidupan mereka. Dalam wadah ini orang Yahudi belajar Syemo Esre, harfiah berarti delapan belas. Syemone Esre adalah doa yang terdiri dari 18 pengucapan dan diucapkan setiap hari (pagi, sore dan malam) dalam ibadah di sinagoge.
Pembacaan
Taurat menduduki posisi penting. Taurat merupakan bagian Kitab Suci
yang sentral dan mendasar bagi orang Yahudi. Iman dan kehidupan mereka
seluruhnya didasarkan atas Taurat. Pengajaran diberikan dengan cara
membaca dan menjelaskan kitab-kitab Musa. Khusus untuk anak-anak pelajaran yang diberikan adalah Syema Yisrael bagaikan kredo pengakuan iman dan pengucapan syukur yang dibaca setiap hari (pagi dan malam) dalam ibadah di sinagoge tersebut.
Pada tahun 75 Sebelum Masehi yakni, sebelum kelahiran Tuhan Yesus, bangsa Yahudi mengadakan semacam sekolah dasar yang disebut beth-ha-sefer artinya, rumah sang kitab (bet = rumah; sefer
= kitab). Di sekolah ini pengetahuan tentang Taurat diajarkan kepada
anak-anak Yahudi. Taurat dibaca berulang-ulang dan anak-anak wajib
menghafalnya secara seksama dan harfiah. Sekolah ini bukanlah lembaga
tetap yang terdapat di banyak tempat, melainkan hanya suatu kumpulan
murid yang diberi pelajaran oleh para ahli Taurat. Sejak usia 6 atau 7
tahun seorang anak sudah dibawa orangtuanya ke sekolah ini. Tujuannya
bukanlah untuk memperoleh pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari
pengetahuan tentang Taurat. Selanjutnya, pada tingkat yang lebih tinggi
lagi setingkat sekolah menengah pertama anak-anak yang berusia 10 atau
11 tahun dikirim ke beth-ha-midrasy (beth = rumah; midrash
= pengajaran). Tujuan sekolah ini bukan hanya untuk mempelajari isi
Taurat, tapi yang utama adalah penelitian mengenai manfaat dan maknanya.
Sejalan dengan timbulnya sekolah, timbul pula pentingnya jabatan guru.
Dalam kebudayaan Yahudi, seorang guru begitu dihormati, sehingga
seorang murid patut menunjukkan pengabdian kepada guru sama seperti
budak kepada majikannya, kecuali dalam satu hal yang sangat rendah
yaitu, membuka tali kasut.
Pada abad pertama pada waktu belum ada gedung gereja, orang-orang Kristen berkumpul dari satu rumah ke rumah lainnya. Kumpulan itu disebut “Jemaah Rumah” seperti beberapa contohnya dalam surat Roma 16 : 5; I Korintus 16 :19; Kolose 4 : 15 dan Filemon 2. Setiap
hari keluarga-keluarga Kristen yang berkumpul di salah satu rumah
bersama-sama mempelajari ajaran para rasul, berdoa dan makan bersama.
Jemaah rumah juga merupakan wadah persekutuan berdoa dan belajar.
Dalam kurun masa Gereja Purba atau Gereja mula-mula, baik
orang keturunan dari agama Kristen maupun orang-orang non Kristen yang
hendak menjadi pengikut Yesus Kristus diwajibkan untuk mengikuti
pelajaran yang mempelajari Alkitab dan ajaran para rasul selama 3 tahun
lamanya. Menjelang memasuki masa akhir 3 tahun tersebut setiap
calon orang Kristen wajib menerapkan kehidupan Kristen secara tertib dan
disiplin sehingga mereka benar-benar bertobat dan menyatakan diri sedia
memikul salib-Nya. Setelah masa 3 tahun tersebut barulah dilaksanakan
pelayanan Baptisan Kudus dan selanjutnya diperkenankan untuk mengikuti
Sakramen Perjamuan Kudus. Dalam surat Paulus kepada Jemaat di Efesus,
proses pendidikan iman dalam jemaat-jemaat perdana merupakan persiapan
bagi orang dewasa yang akan dibaptis, dan kemudian menerima sakramen
Perjamuan Kudus. Dan setelah beberapa generasi ketika baptisan untuk
anak mulai dilakukan - sebagai model dominan dalam gereja - maka proses
pembinaan iman dilakukan setelah baptisan ketika anak itu beranjak
dewasa. Sekitar abad pertengahan fokus pembinaan iman adalah tentang
iman bahwa, Yesus Kristus adalah Juru-selamat, dan kemudian dilengkapi
dengan sejumlah materi seperti: Dasa Titah, Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli.
Periode selanjutnya, dua tokoh reformasi juga memberikan perhatian atas kegiatan pengajaran iman ini, yaitu : Martin Luther dan Yohanes Calvin.
Bagi Martin Luther, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah:
Melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka belajar teratur dan tertib agar
semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Yesus
Kristus yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan
sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab,
dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya
termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara
bertanggung-jawab dalam persekutuan Kristen, yaitu Gereja.
Dengan
demikian, bagi Luther katekisasi ditujukan kepada semua warga jemaat,
khususnya generasi muda untuk belajar secara teratur dan tertib agar
dapat mengambil bagian secara bertanggung-jawab di dalam lingkup Gereja
maupun masyarakat.
Sedangkan menurut Yohanes Calvin, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah :
Pemupukan akal orang-orang
percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh
Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja,
sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang
bersinambung yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan-tindakan terhadap sesamanya.
Agak berbeda dengan Martin Luther, Calvin lebih mengutamakan sifat intelektual dari pengalaman belajar.
Dari uraian sejarah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
- Katekisasi dilaksanakan dalam lingkup : Keluarga, Lembaga Keagamaan, Sekolah Umum, Gereja.
- Peserta katekisasi ialah semua anggota Persekutuan orang percaya.
- Pengajar katekisasi ialah : Allah sendiri, Orang tua, Imam-imam, Pastor, Guru- guru, Semua orang percaya.
- Penekanan isi pengajaran Katekisasi adalah : pada Pengakuan Percaya (Credo), Iman kepada Yesus Kristus.
- Metode Pengajaran katekisasi
mencakup seluruh gerak kehidupan sehari-hari manusia. Artinya, berusaha
untuk membentuk manusia seutuhnya (baik segi kognitif, afektif & psikomotoris yang seimbang / selaras).
Riemer, G., Ajarlah Mereka, Jakarta: BPK-GM; 1998