Rabu, 20 Maret 2013

SEJARAH KATEKISASI DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

     Penyelenggaraan katekisasi dalam gereja dewasa ini sesungguhnya berpangkal dari persekutuan umat Tuhan dalam masa Perjanjian Lama. Keluarga adalah, unit terkecil dalam persekutuan umat Tuhan yang menjadi wadah di mana pendidikan iman ditumbuh-kembangkan. Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk mengkomunikasikan iman mereka dari nenek-moyangnya kepada para keturunannya dari satu generasi ke generasi berikutnya tentang segala perbuatan TUHAN (Yahwe).
“Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya. Telah ditetapkan-Nya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka, supaya dikenal oleh angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya. Mazmur 78 : 3 - 7.
Setiap umat Israel mengungkapkan iman mereka berdasarkan pengakuan percaya (credo) mereka bahwa, “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6 : 4 - 6). Pengkomunikasian iman ini tidak hanya berdasarkan tradisi lisan saja melainkan juga terwujud melalui kehidupan sehari-hari bangsa Israel seperti, bekerja, mempersiapkan perayaan hari-hari raya (misalnya hari raya utama adalah Sabat sebagai hari yang dikuduskan Allah).
Kemudian hari Pendamaian Agung, pesta Paskah, pesta panen Pentakosta, hari raya Pondok Daun, pesta Purim) dan lain sebagainya. Tujuan utama dari usaha ini adalah, umat hanya mengabdi kepada TUHAN saja (ayat 4), dan bagaimana wujud umat diminta untuk hanya mengabdi pada TUHAN saja, maka perintah TUHAN jelas bahwa umat diminta untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati (ayat 5), dengan segenap jiwa (ayat 5), dan dengan segenap kekuatan (ayat 5).
Beberapa metode yang dipakai dalam proses mengkomunikasikan hal di atas antara lain: memperhatikan, mengajar berulang-ulang, membicarakan, membuat tanda / simbol (mengikatkan / menuliskan). Proses mengkomunikasikan iman ini dilakukan oleh keluarga baik di rumah maupun di luar rumah; dengan kata lain setiap tempat dan waktu digunakan untuk proses pengajaran.
Sejak dini anak-anak Yahudi sudah dibiasakan menaati peraturan agama yang dilakukan sesuai tahapan usianya. Pada usia sekitar 5 tahun anak-anak diberi pelajaran dasar membaca Taurat. Usia 10 tahun mulai diberi pengajaran, yaitu misyna (secara harafiah berarti bahan ulangan yang perlu dihafalkan). Pada usia 12 – 13 tahun anak-anak wajib menaati sepenuhnya peraturan hukum Yahudi yaitu, mitswoth. Pada tahap ini anak laki-laki telah dianggap sebagai “anak-anak hukum Taurat” yaitu, bar-mitswa segera setelah berusia 13 tahun tambah satu hari.
Perkembangan kemudian yaitu, sesudah masa pembuangan, pendidikan iman bergeser dari wadah keluarga ke Sinagoge (rumah sembahyang orang Yahudi yang ada hampir di setiap perkampungan). Sinagoge adalah wadah berkumpul sekaligus lembaga tempat orang Yahudi membicarakan berbagai hal menyangkut kehidupan mereka. Dalam wadah ini orang Yahudi belajar Syemo Esre, harfiah berarti delapan belas. Syemone Esre adalah doa yang terdiri dari 18 pengucapan dan diucapkan setiap hari (pagi, sore dan malam) dalam ibadah di sinagoge.
Pembacaan Taurat menduduki posisi penting. Taurat merupakan bagian Kitab Suci yang sentral dan mendasar bagi orang Yahudi. Iman dan kehidupan mereka seluruhnya didasarkan atas Taurat. Pengajaran diberikan dengan cara membaca dan menjelaskan kitab-kitab Musa. Khusus untuk anak-anak pelajaran yang diberikan adalah Syema Yisrael bagaikan kredo pengakuan iman dan pengucapan syukur yang dibaca setiap hari (pagi dan malam) dalam ibadah di sinagoge tersebut.
Pada tahun 75 Sebelum Masehi yakni, sebelum kelahiran Tuhan Yesus, bangsa Yahudi mengadakan semacam sekolah dasar yang disebut beth-ha-sefer artinya, rumah sang kitab (bet = rumah; sefer = kitab). Di sekolah ini pengetahuan  tentang Taurat diajarkan kepada anak-anak Yahudi. Taurat dibaca berulang-ulang dan anak-anak wajib menghafalnya secara seksama dan harfiah. Sekolah ini bukanlah lembaga tetap yang terdapat di banyak tempat, melainkan hanya suatu kumpulan murid yang diberi pelajaran oleh para ahli Taurat. Sejak usia 6 atau 7 tahun seorang anak sudah dibawa orangtuanya ke sekolah ini. Tujuannya bukanlah untuk memperoleh pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari pengetahuan tentang Taurat. Selanjutnya, pada tingkat yang lebih tinggi lagi setingkat sekolah menengah pertama anak-anak yang berusia 10 atau 11 tahun dikirim ke beth-ha-midrasy (beth = rumah; midrash = pengajaran). Tujuan sekolah ini bukan hanya untuk mempelajari isi Taurat, tapi yang utama adalah penelitian mengenai manfaat dan maknanya. Sejalan dengan timbulnya sekolah, timbul pula pentingnya jabatan guru. Dalam kebudayaan Yahudi, seorang guru begitu dihormati, sehingga seorang murid patut menunjukkan pengabdian kepada guru sama seperti budak kepada majikannya, kecuali dalam satu hal yang sangat rendah yaitu, membuka tali kasut.
Pada abad pertama pada waktu belum ada gedung gereja, orang-orang Kristen berkumpul dari satu rumah ke rumah lainnya. Kumpulan itu disebut “Jemaah Rumah” seperti beberapa contohnya dalam surat Roma 16 : 5; I Korintus 16 :19; Kolose 4 : 15 dan Filemon 2. Setiap hari keluarga-keluarga Kristen yang berkumpul di salah satu rumah bersama-sama mempelajari ajaran para rasul, berdoa dan makan bersama. Jemaah rumah juga merupakan wadah persekutuan berdoa dan belajar.
Dalam kurun masa Gereja Purba atau Gereja mula-mula, baik orang keturunan dari agama Kristen maupun orang-orang non Kristen yang hendak menjadi pengikut Yesus Kristus diwajibkan untuk mengikuti pelajaran yang mempelajari Alkitab dan ajaran para rasul selama 3 tahun lamanya. Menjelang memasuki masa akhir 3 tahun tersebut setiap calon orang Kristen wajib menerapkan kehidupan Kristen secara tertib dan disiplin sehingga mereka benar-benar bertobat dan menyatakan diri sedia memikul salib-Nya. Setelah masa 3 tahun tersebut barulah dilaksanakan pelayanan Baptisan Kudus dan selanjutnya diperkenankan untuk mengikuti Sakramen Perjamuan Kudus. Dalam surat Paulus kepada Jemaat di Efesus, proses pendidikan iman dalam jemaat-jemaat perdana merupakan persiapan bagi orang dewasa yang akan dibaptis, dan kemudian menerima sakramen Perjamuan Kudus. Dan setelah beberapa generasi ketika baptisan untuk anak mulai dilakukan - sebagai model dominan  dalam gereja - maka proses pembinaan iman dilakukan setelah baptisan ketika anak itu beranjak dewasa. Sekitar abad pertengahan fokus pembinaan iman adalah tentang iman bahwa, Yesus Kristus adalah Juru-selamat, dan kemudian dilengkapi dengan sejumlah materi seperti: Dasa Titah, Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli.
Periode selanjutnya, dua tokoh reformasi juga memberikan perhatian atas kegiatan pengajaran iman ini, yaitu : Martin Luther dan Yohanes Calvin.
Bagi Martin Luther, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah:
Melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara bertanggung-jawab dalam persekutuan Kristen, yaitu Gereja.
Dengan demikian, bagi Luther katekisasi ditujukan kepada semua warga jemaat, khususnya generasi muda untuk belajar secara teratur dan tertib agar dapat mengambil bagian secara bertanggung-jawab di dalam lingkup Gereja maupun masyarakat.
Sedangkan menurut Yohanes Calvin, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah :
Pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambung yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan-tindakan terhadap sesamanya.
Agak berbeda dengan Martin Luther, Calvin lebih mengutamakan sifat intelektual dari pengalaman belajar.
Dari uraian sejarah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Katekisasi dilaksanakan dalam lingkup : Keluarga, Lembaga Keagamaan, Sekolah Umum, Gereja.
  2. Peserta katekisasi ialah semua anggota Persekutuan orang percaya.
  3. Pengajar katekisasi ialah : Allah sendiri, Orang tua, Imam-imam, Pastor, Guru- guru, Semua orang percaya.
  4. Penekanan isi pengajaran Katekisasi adalah : pada Pengakuan Percaya (Credo), Iman kepada Yesus Kristus.
  5. Metode Pengajaran katekisasi mencakup seluruh gerak kehidupan sehari-hari manusia. Artinya, berusaha untuk membentuk manusia seutuhnya (baik segi kognitif, afektif & psikomotoris yang seimbang / selaras).                                                      
                    Riemer, G., Ajarlah Mereka, Jakarta: BPK-GM; 1998                                                     
SEJARAH KATEKISASI DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Penyelenggaraan katekisasi dalam gereja dewasa ini sesungguhnya berpangkal dari persekutuan umat Tuhan dalam masa Perjanjian Lama. Keluarga adalah, unit terkecil dalam persekutuan umat Tuhan yang menjadi wadah di mana pendidikan iman ditumbuh-kembangkan. Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk mengkomunikasikan iman mereka dari nenek-moyangnya kepada para keturunannya dari satu generasi ke generasi berikutnya tentang segala perbuatan TUHAN (Yahwe).
“Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya. Telah ditetapkan-Nya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka, supaya dikenal oleh angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya. Mazmur 78 : 3 - 7.
Setiap umat Israel mengungkapkan iman mereka berdasarkan pengakuan percaya (credo) mereka bahwa, “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6 : 4 - 6). Pengkomunikasian iman ini tidak hanya berdasarkan tradisi lisan saja melainkan juga terwujud melalui kehidupan sehari-hari bangsa Israel seperti, bekerja, mempersiapkan perayaan hari-hari raya (misalnya hari raya utama adalah Sabat sebagai hari yang dikuduskan Allah).
Kemudian hari Pendamaian Agung, pesta Paskah, pesta panen Pentakosta, hari raya Pondok Daun, pesta Purim) dan lain sebagainya. Tujuan utama dari usaha ini adalah, umat hanya mengabdi kepada TUHAN saja (ayat 4), dan bagaimana wujud umat diminta untuk hanya mengabdi pada TUHAN saja, maka perintah TUHAN jelas bahwa umat diminta untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati (ayat 5), dengan segenap jiwa (ayat 5), dan dengan segenap kekuatan (ayat 5).
Beberapa metode yang dipakai dalam proses mengkomunikasikan hal di atas antara lain: memperhatikan, mengajar berulang-ulang, membicarakan, membuat tanda / simbol (mengikatkan / menuliskan). Proses mengkomunikasikan iman ini dilakukan oleh keluarga baik di rumah maupun di luar rumah; dengan kata lain setiap tempat dan waktu digunakan untuk proses pengajaran.
Sejak dini anak-anak Yahudi sudah dibiasakan menaati peraturan agama yang dilakukan sesuai tahapan usianya. Pada usia sekitar 5 tahun anak-anak diberi pelajaran dasar membaca Taurat. Usia 10 tahun mulai diberi pengajaran, yaitu misyna (secara harafiah berarti bahan ulangan yang perlu dihafalkan). Pada usia 12 – 13 tahun anak-anak wajib menaati sepenuhnya peraturan hukum Yahudi yaitu, mitswoth. Pada tahap ini anak laki-laki telah dianggap sebagai “anak-anak hukum Taurat” yaitu, bar-mitswa segera setelah berusia 13 tahun tambah satu hari.
Perkembangan kemudian yaitu, sesudah masa pembuangan, pendidikan iman bergeser dari wadah keluarga ke Sinagoge (rumah sembahyang orang Yahudi yang ada hampir di setiap perkampungan). Sinagoge adalah wadah berkumpul sekaligus lembaga tempat orang Yahudi membicarakan berbagai hal menyangkut kehidupan mereka. Dalam wadah ini orang Yahudi belajar Syemo Esre, harfiah berarti delapan belas. Syemone Esre adalah doa yang terdiri dari 18 pengucapan dan diucapkan setiap hari (pagi, sore dan malam) dalam ibadah di sinagoge.
Pembacaan Taurat menduduki posisi penting. Taurat merupakan bagian Kitab Suci yang sentral dan mendasar bagi orang Yahudi. Iman dan kehidupan mereka seluruhnya didasarkan atas Taurat. Pengajaran diberikan dengan cara membaca dan menjelaskan kitab-kitab Musa. Khusus untuk anak-anak pelajaran yang diberikan adalah Syema Yisrael bagaikan kredo pengakuan iman dan pengucapan syukur yang dibaca setiap hari (pagi dan malam) dalam ibadah di sinagoge tersebut.
Pada tahun 75 Sebelum Masehi yakni, sebelum kelahiran Tuhan Yesus, bangsa Yahudi mengadakan semacam sekolah dasar yang disebut beth-ha-sefer artinya, rumah sang kitab (bet = rumah; sefer = kitab). Di sekolah ini pengetahuan  tentang Taurat diajarkan kepada anak-anak Yahudi. Taurat dibaca berulang-ulang dan anak-anak wajib menghafalnya secara seksama dan harfiah. Sekolah ini bukanlah lembaga tetap yang terdapat di banyak tempat, melainkan hanya suatu kumpulan murid yang diberi pelajaran oleh para ahli Taurat. Sejak usia 6 atau 7 tahun seorang anak sudah dibawa orangtuanya ke sekolah ini. Tujuannya bukanlah untuk memperoleh pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari pengetahuan tentang Taurat. Selanjutnya, pada tingkat yang lebih tinggi lagi setingkat sekolah menengah pertama anak-anak yang berusia 10 atau 11 tahun dikirim ke beth-ha-midrasy (beth = rumah; midrash = pengajaran). Tujuan sekolah ini bukan hanya untuk mempelajari isi Taurat, tapi yang utama adalah penelitian mengenai manfaat dan maknanya. Sejalan dengan timbulnya sekolah, timbul pula pentingnya jabatan guru. Dalam kebudayaan Yahudi, seorang guru begitu dihormati, sehingga seorang murid patut menunjukkan pengabdian kepada guru sama seperti budak kepada majikannya, kecuali dalam satu hal yang sangat rendah yaitu, membuka tali kasut.
Pada abad pertama pada waktu belum ada gedung gereja, orang-orang Kristen berkumpul dari satu rumah ke rumah lainnya. Kumpulan itu disebut “Jemaah Rumah” seperti beberapa contohnya dalam surat Roma 16 : 5; I Korintus 16 :19; Kolose 4 : 15 dan Filemon 2. Setiap hari keluarga-keluarga Kristen yang berkumpul di salah satu rumah bersama-sama mempelajari ajaran para rasul, berdoa dan makan bersama. Jemaah rumah juga merupakan wadah persekutuan berdoa dan belajar.
Dalam kurun masa Gereja Purba atau Gereja mula-mula, baik orang keturunan dari agama Kristen maupun orang-orang non Kristen yang hendak menjadi pengikut Yesus Kristus diwajibkan untuk mengikuti pelajaran yang mempelajari Alkitab dan ajaran para rasul selama 3 tahun lamanya. Menjelang memasuki masa akhir 3 tahun tersebut setiap calon orang Kristen wajib menerapkan kehidupan Kristen secara tertib dan disiplin sehingga mereka benar-benar bertobat dan menyatakan diri sedia memikul salib-Nya. Setelah masa 3 tahun tersebut barulah dilaksanakan pelayanan Baptisan Kudus dan selanjutnya diperkenankan untuk mengikuti Sakramen Perjamuan Kudus. Dalam surat Paulus kepada Jemaat di Efesus, proses pendidikan iman dalam jemaat-jemaat perdana merupakan persiapan bagi orang dewasa yang akan dibaptis, dan kemudian menerima sakramen Perjamuan Kudus. Dan setelah beberapa generasi ketika baptisan untuk anak mulai dilakukan - sebagai model dominan  dalam gereja - maka proses pembinaan iman dilakukan setelah baptisan ketika anak itu beranjak dewasa. Sekitar abad pertengahan fokus pembinaan iman adalah tentang iman bahwa, Yesus Kristus adalah Juru-selamat, dan kemudian dilengkapi dengan sejumlah materi seperti: Dasa Titah, Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli.
Periode selanjutnya, dua tokoh reformasi juga memberikan perhatian atas kegiatan pengajaran iman ini, yaitu : Martin Luther dan Yohanes Calvin.
Bagi Martin Luther, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah:
Melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara bertanggung-jawab dalam persekutuan Kristen, yaitu Gereja.
Dengan demikian, bagi Luther katekisasi ditujukan kepada semua warga jemaat, khususnya generasi muda untuk belajar secara teratur dan tertib agar dapat mengambil bagian secara bertanggung-jawab di dalam lingkup Gereja maupun masyarakat.
Sedangkan menurut Yohanes Calvin, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah :
Pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambung yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan-tindakan terhadap sesamanya.
Agak berbeda dengan Martin Luther, Calvin lebih mengutamakan sifat intelektual dari pengalaman belajar.
Dari uraian sejarah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Katekisasi dilaksanakan dalam lingkup : Keluarga, Lembaga Keagamaan, Sekolah Umum, Gereja.
  2. Peserta katekisasi ialah semua anggota Persekutuan orang percaya.
  3. Pengajar katekisasi ialah : Allah sendiri, Orang tua, Imam-imam, Pastor, Guru- guru, Semua orang percaya.
  4. Penekanan isi pengajaran Katekisasi adalah : pada Pengakuan Percaya (Credo), Iman kepada Yesus Kristus.
  5. Metode Pengajaran katekisasi mencakup seluruh gerak kehidupan sehari-hari manusia. Artinya, berusaha untuk membentuk manusia seutuhnya (baik segi kognitif, afektif & psikomotoris yang seimbang / selaras).
SEJARAH KATEKISASI DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Penyelenggaraan katekisasi dalam gereja dewasa ini sesungguhnya berpangkal dari persekutuan umat Tuhan dalam masa Perjanjian Lama. Keluarga adalah, unit terkecil dalam persekutuan umat Tuhan yang menjadi wadah di mana pendidikan iman ditumbuh-kembangkan. Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk mengkomunikasikan iman mereka dari nenek-moyangnya kepada para keturunannya dari satu generasi ke generasi berikutnya tentang segala perbuatan TUHAN (Yahwe).
“Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya. Telah ditetapkan-Nya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka, supaya dikenal oleh angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya. Mazmur 78 : 3 - 7.
Setiap umat Israel mengungkapkan iman mereka berdasarkan pengakuan percaya (credo) mereka bahwa, “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6 : 4 - 6). Pengkomunikasian iman ini tidak hanya berdasarkan tradisi lisan saja melainkan juga terwujud melalui kehidupan sehari-hari bangsa Israel seperti, bekerja, mempersiapkan perayaan hari-hari raya (misalnya hari raya utama adalah Sabat sebagai hari yang dikuduskan Allah).
Kemudian hari Pendamaian Agung, pesta Paskah, pesta panen Pentakosta, hari raya Pondok Daun, pesta Purim) dan lain sebagainya. Tujuan utama dari usaha ini adalah, umat hanya mengabdi kepada TUHAN saja (ayat 4), dan bagaimana wujud umat diminta untuk hanya mengabdi pada TUHAN saja, maka perintah TUHAN jelas bahwa umat diminta untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati (ayat 5), dengan segenap jiwa (ayat 5), dan dengan segenap kekuatan (ayat 5).
Beberapa metode yang dipakai dalam proses mengkomunikasikan hal di atas antara lain: memperhatikan, mengajar berulang-ulang, membicarakan, membuat tanda / simbol (mengikatkan / menuliskan). Proses mengkomunikasikan iman ini dilakukan oleh keluarga baik di rumah maupun di luar rumah; dengan kata lain setiap tempat dan waktu digunakan untuk proses pengajaran.
Sejak dini anak-anak Yahudi sudah dibiasakan menaati peraturan agama yang dilakukan sesuai tahapan usianya. Pada usia sekitar 5 tahun anak-anak diberi pelajaran dasar membaca Taurat. Usia 10 tahun mulai diberi pengajaran, yaitu misyna (secara harafiah berarti bahan ulangan yang perlu dihafalkan). Pada usia 12 – 13 tahun anak-anak wajib menaati sepenuhnya peraturan hukum Yahudi yaitu, mitswoth. Pada tahap ini anak laki-laki telah dianggap sebagai “anak-anak hukum Taurat” yaitu, bar-mitswa segera setelah berusia 13 tahun tambah satu hari.
Perkembangan kemudian yaitu, sesudah masa pembuangan, pendidikan iman bergeser dari wadah keluarga ke Sinagoge (rumah sembahyang orang Yahudi yang ada hampir di setiap perkampungan). Sinagoge adalah wadah berkumpul sekaligus lembaga tempat orang Yahudi membicarakan berbagai hal menyangkut kehidupan mereka. Dalam wadah ini orang Yahudi belajar Syemo Esre, harfiah berarti delapan belas. Syemone Esre adalah doa yang terdiri dari 18 pengucapan dan diucapkan setiap hari (pagi, sore dan malam) dalam ibadah di sinagoge.
Pembacaan Taurat menduduki posisi penting. Taurat merupakan bagian Kitab Suci yang sentral dan mendasar bagi orang Yahudi. Iman dan kehidupan mereka seluruhnya didasarkan atas Taurat. Pengajaran diberikan dengan cara membaca dan menjelaskan kitab-kitab Musa. Khusus untuk anak-anak pelajaran yang diberikan adalah Syema Yisrael bagaikan kredo pengakuan iman dan pengucapan syukur yang dibaca setiap hari (pagi dan malam) dalam ibadah di sinagoge tersebut.
Pada tahun 75 Sebelum Masehi yakni, sebelum kelahiran Tuhan Yesus, bangsa Yahudi mengadakan semacam sekolah dasar yang disebut beth-ha-sefer artinya, rumah sang kitab (bet = rumah; sefer = kitab). Di sekolah ini pengetahuan  tentang Taurat diajarkan kepada anak-anak Yahudi. Taurat dibaca berulang-ulang dan anak-anak wajib menghafalnya secara seksama dan harfiah. Sekolah ini bukanlah lembaga tetap yang terdapat di banyak tempat, melainkan hanya suatu kumpulan murid yang diberi pelajaran oleh para ahli Taurat. Sejak usia 6 atau 7 tahun seorang anak sudah dibawa orangtuanya ke sekolah ini. Tujuannya bukanlah untuk memperoleh pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari pengetahuan tentang Taurat. Selanjutnya, pada tingkat yang lebih tinggi lagi setingkat sekolah menengah pertama anak-anak yang berusia 10 atau 11 tahun dikirim ke beth-ha-midrasy (beth = rumah; midrash = pengajaran). Tujuan sekolah ini bukan hanya untuk mempelajari isi Taurat, tapi yang utama adalah penelitian mengenai manfaat dan maknanya. Sejalan dengan timbulnya sekolah, timbul pula pentingnya jabatan guru. Dalam kebudayaan Yahudi, seorang guru begitu dihormati, sehingga seorang murid patut menunjukkan pengabdian kepada guru sama seperti budak kepada majikannya, kecuali dalam satu hal yang sangat rendah yaitu, membuka tali kasut.
Pada abad pertama pada waktu belum ada gedung gereja, orang-orang Kristen berkumpul dari satu rumah ke rumah lainnya. Kumpulan itu disebut “Jemaah Rumah” seperti beberapa contohnya dalam surat Roma 16 : 5; I Korintus 16 :19; Kolose 4 : 15 dan Filemon 2. Setiap hari keluarga-keluarga Kristen yang berkumpul di salah satu rumah bersama-sama mempelajari ajaran para rasul, berdoa dan makan bersama. Jemaah rumah juga merupakan wadah persekutuan berdoa dan belajar.
Dalam kurun masa Gereja Purba atau Gereja mula-mula, baik orang keturunan dari agama Kristen maupun orang-orang non Kristen yang hendak menjadi pengikut Yesus Kristus diwajibkan untuk mengikuti pelajaran yang mempelajari Alkitab dan ajaran para rasul selama 3 tahun lamanya. Menjelang memasuki masa akhir 3 tahun tersebut setiap calon orang Kristen wajib menerapkan kehidupan Kristen secara tertib dan disiplin sehingga mereka benar-benar bertobat dan menyatakan diri sedia memikul salib-Nya. Setelah masa 3 tahun tersebut barulah dilaksanakan pelayanan Baptisan Kudus dan selanjutnya diperkenankan untuk mengikuti Sakramen Perjamuan Kudus. Dalam surat Paulus kepada Jemaat di Efesus, proses pendidikan iman dalam jemaat-jemaat perdana merupakan persiapan bagi orang dewasa yang akan dibaptis, dan kemudian menerima sakramen Perjamuan Kudus. Dan setelah beberapa generasi ketika baptisan untuk anak mulai dilakukan - sebagai model dominan  dalam gereja - maka proses pembinaan iman dilakukan setelah baptisan ketika anak itu beranjak dewasa. Sekitar abad pertengahan fokus pembinaan iman adalah tentang iman bahwa, Yesus Kristus adalah Juru-selamat, dan kemudian dilengkapi dengan sejumlah materi seperti: Dasa Titah, Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli.
Periode selanjutnya, dua tokoh reformasi juga memberikan perhatian atas kegiatan pengajaran iman ini, yaitu : Martin Luther dan Yohanes Calvin.
Bagi Martin Luther, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah:
Melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara bertanggung-jawab dalam persekutuan Kristen, yaitu Gereja.
Dengan demikian, bagi Luther katekisasi ditujukan kepada semua warga jemaat, khususnya generasi muda untuk belajar secara teratur dan tertib agar dapat mengambil bagian secara bertanggung-jawab di dalam lingkup Gereja maupun masyarakat.
Sedangkan menurut Yohanes Calvin, tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah :
Pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambung yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan-tindakan terhadap sesamanya.
Agak berbeda dengan Martin Luther, Calvin lebih mengutamakan sifat intelektual dari pengalaman belajar.
Dari uraian sejarah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Katekisasi dilaksanakan dalam lingkup : Keluarga, Lembaga Keagamaan, Sekolah Umum, Gereja.
  2. Peserta katekisasi ialah semua anggota Persekutuan orang percaya.
  3. Pengajar katekisasi ialah : Allah sendiri, Orang tua, Imam-imam, Pastor, Guru- guru, Semua orang percaya.
  4. Penekanan isi pengajaran Katekisasi adalah : pada Pengakuan Percaya (Credo), Iman kepada Yesus Kristus.
  5. Metode Pengajaran katekisasi mencakup seluruh gerak kehidupan sehari-hari manusia. Artinya, berusaha untuk membentuk manusia seutuhnya (baik segi kognitif, afektif & psikomotoris yang seimbang / selaras).

Senin, 18 Maret 2013

Fungsi, Peran, Tugas & Supervisi Kepala Sekolah

TINJAUAN TENTANG SUPERVISI PENDIDIKAN
a.        Pengertian Supervisi Pendidikan
Dilihat dari sudut pandang etimologi supervisi berasal dari kata super dan vision yang masing-masing kata itu berarti atas dan penglihatan. Jadi secara etimologis, supervisi adalah penglihatan dari atas. Pengertian itu merupakan arti kiasan yang menggambarkan suatu posisi dimana yang melihat berkedudukan lebih tinggi dari pada yang dilihat. Hal ini dapat diartikan bahwa kegiatan supervisi dilakukan oleh atasan kepada bawahan.
Pelaksanaan supervisi atau pengawasan di setiap organisasi memiliki peran yang cukup penting. Manullang (2005: 173) mendefinisikan pengawasan sebagai “Suatu proses untuk menerapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan bila perlu mengoreksi dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula”. Supervisi dilakukan di setiap lini organisasi, termasuk organisasi di dalam ranah pendidikan, salah satunya adalah sekolah.
Kepala sekolah merupakan atasan di dalam lingkungan sekolah. Dimana seorang kepala sekolah memiliki peran strategis dalam memberi bantuan kepada guru-guru dalam menstimulir guru-guru kearah usaha mempertahankan suasana belajar mengajar yang lebih baik. E. Mulyasa (2004: 111), “Supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor”.
Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada saja kekurangan dan kelemahan yang dijumpai dalam proses pembelajaran, maka untuk memperbaiki kondisi demikian peran supervisi pendidikan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Pelaksanaan supervisi bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan supervisi pada dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil belajar.
b.        Fungsi Supervisi Pendidikan
Kegiatan supervisi pendidikan memiliki beragam fungsi. Supervisi pendidikan akan dapat terlaksana dengan baik manakala fungsi-fungsinya mampu diterapkan dengan baik pula. Sebagaimana yang diungkapkan Swearingen yang dikutip oleh Soewadji Lazaruth (1988: 34), fungsi kegiatan supervisi pendidikan dirinci sebagai berikut:
  Mengkoordinasi semua usaha sekolah;
  Melengkapi kepemimpinan sekolah;
  Memperluas pengalaman guru-guru;
  Menstimulasi usaha-usaha yang kreatif;
  Memberikan fasilitas dan penilaian yang terus-menerus;
  Menganalisis situasi belajar dan mengajar;
  Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap anggota staf;
Mengintegrasi tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan guru-guru dalam mengajar.
Pendapat lain dikemukakan oleh Made Pidarta (1999: 15-19), fungsi supervisi dibedakan menjadi dua bagian besar yakni:
Ø  Fungsi utama ialah membantu sekolah sekaligus mewakili pemerintah dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yaitu membantu perkembangan individu para siswa.
Ø  Fungsi tambahan ialah membantu sekolah dalam membina guru-guru agar dapat bekerja dengan baik dan dalam mengadakan kontak dengan masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat serta mempelopori kemajuan masyarakat.
c.         Tujuan Supervisi Pendidikan
Fungsi dan tujuan, kedua hal tersebut cukup sulit untuk dibedakan, sebab seringkali satu objek dapat diterangkan dari segi fungsi dan dapat pula dari segi tujuan. Merujuk pendapat Made Pidarta (1999: 15) bahwa “Supervisor sebagai fungsi, bila ia dipandang sebagai bagian atau organ dari organisasi sekolah. Tetapi bila dipandang dari apa yang ingin dicapai supervisi, maka hal itu merupakan tujuan supervisi”.
Kegiatan supervisi pendidikan bisa dimulai dari melakukan pengawasan. Maksudnya pengawasan (dalam arti supervisi pendidikan) dilakukan dengan maksud dapat menemukan hal-hal yang positif dan hal-hal yang negatif di dalam pelaksanaaan pendidikan. Jadi bukan semata-mata mencari kesalahan belaka. Menurut Hendiyat Soetopo dan Wasti Soemanto (1984: 40), “Tujuan supervisi pendidikan adalah memperkembangkan situasi belajar dan mengajar yang lebih baik”.
Lebih lanjut lagi Hendiyat Soetopo dan Wasti Soemanto (40-41), menjabarkan tujuan konkrit dari supervisi pendidikan secara nasional antara lain:
Ø  Membantu guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan.
Ø  Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar murid.
Ø  Membantu guru dalam menggunakan alat pengajaran modern, metode-metode, dan sumber-sumber pengalaman belajar.
Ø  Membantu guru dalam menilai kemajuan murid-murid dan hasil pekerjaan guru itu sendiri.
Ø  Membantu guru-guru baru di sekolah sehingga mereka merasa gembira dengan tugas yang diperolehnya.
Ø  Membantu guru-guru agar waktu dan tenaganya tercurahkan sepenuhnya dalam pembinaan sekolah.
d.        Prinsip Supervisi Pendidikan
Berikut ini dikemukakan beberapa prinsip yang harus diperhatikan serta dilaksanakan oleh para supervisor pendidikan atau kepala sekolah dalam melaksanakan kegiatan supervisi agar benar-benar efektif dalam usaha mencapai tujuannya. Seorang kepala sekolah yang berfungsi sebagai supervisor dalam melaksanakan supervisi menurut Soewadji Lazaruth (1988: 33), hendaknya bertumpu pada prinsip supervisi sebagai berikut:
Ø  Supervisi yang bersifat konstruktif
Ø  Supervisi yang bersifat realistis
Ø  Supervisi yang bersifat demokratis
Ø  Supervisi yang bersifat objektif
B.       TINJAUAN TENTANG KEPALA SEKOLAH
a.    Pengertian Kepala Sekolah
Secara etimologi kepala sekolah adalah guru yang memimpin sekolah.[1] Berarti secara terminology kepala sekolah dapat diartikan sebagai tenaga fungsional guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.
Kepala Sekolah adalah pimpinan tertinggi di sekolah. Pola kepemimpinananya akan sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan kemajuan sekolah. Oleh karena itu dalam pendidikan modern kepemimpinan kepala sekolah merupakan jabatan strategis dalam mencapai tujuan pendidikan.
B.       Fungsi Kepala Sekolah
Soewadji Lazaruth menjelaskan 3 fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai administrator pendidikan, supervisor pendidikan, dan pemimpin pendidikan. Kepala sekolah berfungsi sebagai administrator pendidikan berarti untuk meningkatkan mutu sekolahnya, seorang kepala sekolah dapat memperbaiki dan mengembangkan fasilitas sekolahnya misalnya gedung, perlengkapan atau peralatan dan lain-lain yang tercakup dalam bidang administrasi pendidikan. Lalu jika kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pendidikan berarti usaha peningkatan mutu dapat pula dilakukan dengan cara peningkatan mutu guru-guru dan seluruh staf sekolah, misalnya melalui rapat-rapat, observasi kelas, perpustakaan dan lain sebagainya. Dan kepala sekolah berfungsi sebagai pemimpin pendidikan berarti peningkatan mutu akan berjalan dengan baik apabila guru bersifat terbuka, kreatif dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Suasana yang demikian ditentukan oleh bentuk dan sifat kepemimpinan yang dilakukan kepala sekolah.[2] Itulah pendapat Soewadji Lazaruth dalam bukunya Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya, yang kurang lebih sama dengan pendapat E. Mulyasa dalam bukunya Menjadi Kepala Sekolah Profesional, seperti di bawah ini.
Menurut E. Mulyasa, kepala sekolah mempunyai 7 fungsi utama, yaitu:[3]
1.    Kepala Sekolah Sebagai Educator (Pendidik)        
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2.    Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti: MGMP/MGP tingkat sekolah, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3.    Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4.    Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
     Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran. Sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim mengemukakan bahwa  menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik.
5.    Kepala Sekolah Sebagai Leader (Pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Mulyasa menyebutkan kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan.
6.  Kepala Sekolah Sebagai Inovator
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai innovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan sekolah, dan mengembangkan model model pembelajaran yang inofatif. Kepala sekolah sebagai inovator akan tercermin dari cara cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional, objektif, pragmatis, keteladanan
7.  Kepala Sekolah Sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif, dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan Pusat Sumber Belajar (PSB).
b.        Peran Kepala Sekolah
Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan, perlu dioptimalisasikan peranan kepala sekolah, karena apabila seorang kepala sekolah dapat berperan secara efektif dalam tugas dan kewajibannya, maka hal tersebut akan berdampak pada kemajuan sekolah yang dipimpinnya. Dikutip dari Dinas Pendidikan (dulu: Depdikbud) dalam E. Mulyasa (2004: 98), telah ditetapkan bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator, dan supervisor (EMAS).
Seiring dengan laju perkembangan jaman, kepala sekolah sedikitnya harus mampu berperan sebagai edukator, manajer,
administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator (EMASLIM).
c.         Tipe-Tipe Supervisi Kepala Sekolah
Setiap manusia memiliki ciri khasnya masing-masing. Begitu halnya dengan tipe-tipe pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah.
Briggs dalam Soewadji Lazaruth (1988: 33), mengemukakan 4 tipe supervisi kepala sekolah dilihat dari pelaksanaannya, yaitu supervisi yang bersifat korektif, supervisi yang bersifat preventif, supervisi yang bersifat konstruktif, supervisi yang bersifat kreatif. Berikut penjabarannya:
1)        Supervisi yang bersifat korektif Kegiatan supervisi ini lebih menekankan usaha untuk mencari-cari kesalahan orang yang disupervisi (guru-guru).
2)        Supervisi yang bersifat preventif Kegiatan supervisi ini lebih menekankan usaha untuk melindungi guru-guru dari berbuat salah. Guru-guru selalu diingatkan untuk tidak melakukan kesalahan dengan memberikan mereka batasan-batasan, larangan-larangan atau sejumlah pedoman dalam bertindak.
3)        Supervisi yang bersifat konstruktif. Tipe supervisi jenis ini ialah supervisi yang berorientasi ke masa depan, menolong guru-guru untuk selalu melihat ke depan, belajar dari pengalaman, melihat hal-hal yang baru, dan secara antusias mengusahakan perkembangan.
4)        Supervisi yang bersifat kreatif. Kegiatan supervisi ini, lebih menekankan pada usaha menumbuhkembangkan daya kreatifitas guru, dimana peran kepala sekolah hanyalah sebatas mendorong dan membimbing.
Pendapat hampir serupa dikemukakan oleh Burton dan Brueckner dalam Ngalim Purwanto (2002: 92), yang menyatakan terdapat 5 tipe supervisi oleh kepala sekolah, yakni: supervisi sebagai inspeksi, laissez faire, coercive supervision, dan supervisi sebagai latihan bimbingan.
C.      TINJAUAN TENTANG KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
KTSP yang merupakan kependekan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yakni kurikulum yang dibuat oleh guru pada setiap satuan pendidikan dan diimplementasikan dalam pembelajaran. Dimana kurikulum ini menghendaki para guru untuk lebih kreatif dan menuntut sekolah untuk lebih mandiri. Landasan yang digunakan dalam pelaksanaan KTSP yaitu:
1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.        Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
3.        Permendiknas No. 22/ 2006 tentang Standar Isi.
4.        Permendiknas No. 23/ 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
5.        Permendiknas No. 24/ 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/ 2006.
a.        Pengertian Kurikulum
Untuk memberikan pengertian KTSP, maka akan dibahas mengenai pengertian kurikulum terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami pengertian KTSP. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2006: 3-7), “Kurikulum adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran, yang merupakan suatu rencana pendidikan dan memberikan pedoman serta pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi, dan proses pendidikan”. Berdasarkan Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah ”Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dari pengertian kurikulum di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa pengertian kurikulum adalah suatu bentuk perencanaan yang berisikan pengaturan tentang tujuan, isi, bahan pelajaran, dan cara yang digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan
b.        Fungsi Kurikulum
Adapun beberapa fungsi kurikulum menurut Oemar Hamalik (2006: 10), antara lain:
1.        Fungsi penyesuaian.
Individu hidup dalam lingkungan. Setiap individu harus mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya secara menyeluruh. Oleh karena itu lingkungan akan senantiasa berubah dan bersifat dinamis, sehingga setiap individu harus memiliki kemampuan untuk bersifat dinamis pula. Disamping itu lingkungan juga harus disesuaikan dengan kondisi perorangan. Disinilah terletak fungsi kurikulum sebagai alat pendidikan.
2.        Fungsi integrasi
Kurikulum berfungsi untuk mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Oleh karena itu, individu-individu itu merupakan bagian integral dari masyarakat sehingga akan dapat memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
3.        Fungsi deferensiasi
Kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaanperbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang untuk berpikir kritis dan kreatif sehingga akan dapat mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat.
4.        Fungsi persiapan
Kurikulum berfungsi untuk mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh.
5.        Fungsi pemilihan
Kurikulum berfungsi memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik minatnya. Untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut, maka kurikulum perlu disusun secara luas dan bersifat fleksibel.
6.        Fungsi diagnostik
Kurikulum berfungsi untuk mengarahkan dan membantu para siswa agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.